Kampung Inggris ( Kampoeng Inggris Pare ), Sebelum pak Kalend melembagakan kursusannya (BEC), otomatis beliau mengajar bahasa Inggris secara private dari satu tempat ke tempat lain, istilahnya ‘no madden’. “Saya dulu mengajar bahasa Inggris di emperan orang, dari satu tempat ke tempat lain.” Begitu kata pak Kalend setiap mengenalkan lembaganya ke siswa baru di awal pembelajaran. Kebetulan saya sendiri hampir sepuluh tahun mengabdikan diri di BEC. Dan setiap tiga bulan sekali penerimaan siswa baru.
Menurut sebagian tokoh masyarakat yang pernah saya temui, seperti Bapak Ruslan (alm), mantan Kepala Desa Pelem, Bapak Ahmad Ikhwan, pemangku musholla Al-Ikhwan, Dusun Singgahan, Bapak Drs. H. Hasbi Mursyid, pensiunan guru SMA di Pare, menyatakan hal yang sama bahwa dulu pak Kalend sering mengajar anak-anak di emperan rumah orang kampung atau di serambi masjid Darul Falakh, pernah juga di Balai Desa Pelem, kadang-kadang di bawa ke tempat-tempat bersejarah seperti Candi Surowono, Tegowangi, dan sesekali juga diajak ke lapangan, belajar sambil berolah raga.
Memangnya ada berapa murid pak Kalend waktu itu? Ya, pertanyaan ini sangat penting untuk dicari jawabannya. Sejumlah alumni yang saya kenal dan saya ajak ngobrol seperti Shohib, tetangga sekaligus family dari istri pak Kalend, Ajie Bahleuwi (pendiri kursusan LIBERTY), Liliek Sosiowati, instruktur EECC, menginformasikan bahwa siswa pak Kalend waktu awal-awal mengajar ternyata tidak banyak, sekitar lima sampai sepuluh orang. Itupun yang hadir saling bergantian, jarang istiqomah hadir bersamaan secara penuh di setiap pertemuan. Jadi bongkar pasang. Bahkan pernah siswanya juga habis di tengah jalan.
Kita tentu bisa membayangkan betapa susahnya saat itu untuk mengumpulkan pelajar yang minat dan mau belajar bahasa Inggris! Rata-rata pelajar waktu itu tidak suka bahasa Inggris, karena asumsi mereka bahasa Inggris itu sangat sulit, tidak menarik, bahasanya orang kafir, ditambah lagi lokasinya di daerah terpencil, listrik belum ada.
Pak Kalend ternyata orangnya tidak gampang menyerah dalam menghadapi berbagai keadaan dan tekanan; muridnya habis di tengah jalan, diperlakukan yang tidak layak oleh orang-orang yang tidak suka dengan bahasa Inggris, tuntutan kebutuhan hidup yang terus mengejarnya, dll. Beliau tetap tegar, berdiri tegak dan mencari dan mencari siswa lagi untuk diajari bahasa Inggris.
Semangat perjuangan dan karakter beliau untuk mengekspresikan jati dirinya yang perlu kita teladani. Dengan perjuangan yang tanpa lelah demi sebuah cita-cita, beliau tetap tegar tanpa menggantungkan baik kepada orang lain atau pemerintah. Apalagi minta dibelas-kasihani? Sama sekali tidak.
Meski dengan modal perlengkapan yang sangat terbatas tapi pantang menyerah itulah akhirnya Pak Kalend banyak melahirkan alumni yang akhirnya ikut “meramaikan” kursusan di Pare hingga mencapai “prestasi” seperti sekarang ini. (Selesai).
http://akhlisnur.blogspot.com/2010/12/sejarah-kampung-inggris-pare-2.html
Menurut sebagian tokoh masyarakat yang pernah saya temui, seperti Bapak Ruslan (alm), mantan Kepala Desa Pelem, Bapak Ahmad Ikhwan, pemangku musholla Al-Ikhwan, Dusun Singgahan, Bapak Drs. H. Hasbi Mursyid, pensiunan guru SMA di Pare, menyatakan hal yang sama bahwa dulu pak Kalend sering mengajar anak-anak di emperan rumah orang kampung atau di serambi masjid Darul Falakh, pernah juga di Balai Desa Pelem, kadang-kadang di bawa ke tempat-tempat bersejarah seperti Candi Surowono, Tegowangi, dan sesekali juga diajak ke lapangan, belajar sambil berolah raga.
Memangnya ada berapa murid pak Kalend waktu itu? Ya, pertanyaan ini sangat penting untuk dicari jawabannya. Sejumlah alumni yang saya kenal dan saya ajak ngobrol seperti Shohib, tetangga sekaligus family dari istri pak Kalend, Ajie Bahleuwi (pendiri kursusan LIBERTY), Liliek Sosiowati, instruktur EECC, menginformasikan bahwa siswa pak Kalend waktu awal-awal mengajar ternyata tidak banyak, sekitar lima sampai sepuluh orang. Itupun yang hadir saling bergantian, jarang istiqomah hadir bersamaan secara penuh di setiap pertemuan. Jadi bongkar pasang. Bahkan pernah siswanya juga habis di tengah jalan.
Kita tentu bisa membayangkan betapa susahnya saat itu untuk mengumpulkan pelajar yang minat dan mau belajar bahasa Inggris! Rata-rata pelajar waktu itu tidak suka bahasa Inggris, karena asumsi mereka bahasa Inggris itu sangat sulit, tidak menarik, bahasanya orang kafir, ditambah lagi lokasinya di daerah terpencil, listrik belum ada.
Pak Kalend ternyata orangnya tidak gampang menyerah dalam menghadapi berbagai keadaan dan tekanan; muridnya habis di tengah jalan, diperlakukan yang tidak layak oleh orang-orang yang tidak suka dengan bahasa Inggris, tuntutan kebutuhan hidup yang terus mengejarnya, dll. Beliau tetap tegar, berdiri tegak dan mencari dan mencari siswa lagi untuk diajari bahasa Inggris.
Semangat perjuangan dan karakter beliau untuk mengekspresikan jati dirinya yang perlu kita teladani. Dengan perjuangan yang tanpa lelah demi sebuah cita-cita, beliau tetap tegar tanpa menggantungkan baik kepada orang lain atau pemerintah. Apalagi minta dibelas-kasihani? Sama sekali tidak.
Meski dengan modal perlengkapan yang sangat terbatas tapi pantang menyerah itulah akhirnya Pak Kalend banyak melahirkan alumni yang akhirnya ikut “meramaikan” kursusan di Pare hingga mencapai “prestasi” seperti sekarang ini. (Selesai).
http://akhlisnur.blogspot.com/2010/12/sejarah-kampung-inggris-pare-2.html
0 komentar:
Posting Komentar