Kampoeng Inggris ( Kampung Inggris Pare ), Berikut ini adalah wawancara wartawan Radar Kediri [ Kamis, 18 September 2008 ] Mengenal Pak Kalend, Melongok 'Kampung Bahasa Inggris' di Pare Kesulitan Native Speaker Sejak Bom Bali I
Mengunjungi 'Kampung Bahasa Inggris' yang ada di Kecamatan Pare bakal kurang lengkap tanpa ketemu dengan Mr Kalend. Lelaki ini adalah pendiri tempat kursus pertama di kampung tersebut. Bagaimana kabar tempat yang dikenal menelurkan lulusan yang berkualitas tersebut?
RULLY PRASETYO, Kediri
------------
Nama Kalend tak asing bagi yang menimba ilmu bahasa Inggris di kompleks kursus bahasa tersebut yang ada di Kelurahan Pelem, Kecamatan Pare. Lembaganya, Basic English Course (BEC) berada di Jalan Anyelir. Lembaga itu yang selama ini dikenal menelurkan lulusan berkualitas. Mampu berbahasa Inggris dengan lancar.
Hal itu membuat pemilik nama lengkap M. Kalend Osen itu semakin melambung. Bukan hanya di tempat kursusnya, di berbagai kota nama Kalend banyak dikenal. Siswa-siswi Kalend datang dari berbagai kota di penjuru tanah air.
Kalend adalah lelaki sederhana kelahiran Kutai, 20 Februari 1945. Tak terlihat hal istimewa ketika selintas melihat lelaki ini. Seperti ketika ditemui Radar Kediri (13/9) di tempat kursusnya. Berkopiah hitam, baju abu-abu, dan bersarung putih. Maklum, Mr Kalend baru saja melaksanakan salat dhuhur.
Keistimewaan baru terasa ketika bercakap-cakap dengan lelaki ini. Gaya seorang pengajar langsung melekat. "Kalau ada siswa yang tidak niat belajar bahasa Inggris, ya lebih baik saya suruh pulang saja daripada mengganggu teman-temannya yang benar-benar mau belajar," ujar Kalend. Ketika dipuji kemampuan berbahasa Inggrisnya, Mr Kalend memilih merendah. "Hanya, banyak orang yang percaya belajar dengan saya makanya banyak yang belajar ke sini," kilahnya.
Cerita Kalend sebagai seorang pengajar berawal dari ketidaksengajaan. Saat pertama tiba di Pare, pada 1976, tujuannya adalah belajar bahasa ke almarhum KH Ahmad Yazid. Kiai yang dikenal menguasai sembilan bahasa. Saat itu, Kalend muda juga tengah kehabisan uang saat belajar di Pondok Modern Gontor.
Setelah belajar beberapa bulan di tempat KH Ahmad Yazid, ada dua mahasiswa IAIN Surabaya datang. Keduanya hendak belajar bahasa Inggris ke KH Ahmad Yazid. Kebetulan, saat itu KH Ahmad Yazid tidak ada di tempat. Oleh istri KH Yazid Kalend ditunjuk menjadi pengajar dua mahasiswa tersebut.
Mendapat perintah menjadi guru, Kalend berusaha maksimal. Sebanyak 350 soal yang dibawa dua mahasiswa dicoba dikerjakan bersama-sama tanpa membuka buku bahasa Inggris. Hasilnya, 60 persen mampu diselesaikan. Sedangkan sisanya dengan cara membuka buku. "Lima hari selesai, 350 soal itu kami kerjakan," kenang Kalend.
Setelah semua soal selesai dikerjakan, dua mahasiswa tersebut kembali ke Surabaya. Dan, mereka berhasil lulus ujian bahasa Inggris sebagai salah satu syarat kelulusan. "Setelah lulus mereka datang ke sini dan bercerita di musala kalau saya bisa mengajar bahasa Inggris," ujarnya.
Sejak itu nama Kalend mulai dikenal di Pare. Anak-anak mulai berdatangan untuk belajar bahasa Inggris kepadanya. Akhirnya, 15 Juni 1977 Kalend meresmikan pendirian BEC. "Saat itu murid saya hanya enam orang dan pembukaan BEC hanya baca Al Fatihah," kenangnya.
Pada 1983 BEC semakin pesat berkembang. Muridnya tidak hanya dari Kediri dan sekitarnya. Tetapi datang dari seluruh Indonesia. Uniknya, dalam menggaet siswa dari luar pulau itu Kalend tidak menggunakan promosi atau iklan. Hanya melalui perantara para alumni lembaga kursusnya. Mereka bercerita ke rekan-rekannya dari mulut ke mulut.
Saat ini siswa BEC mencapai 600 orang. Mereka belajar selama enam bulan di BEC. Tapi, waktu enam bulan tidak menjamin mereka lulus. Jika dalam bulan keempat siswa ketahuan tidak menggunakan bahasa Inggris di lokasi BEC, sanksinya adalah dikeluarkan.
Tidak itu saja, saat ujian di lokasi wisata Candi Borobudur, Jateng, siswa harus aktif berbicara dengan turis dengan menggunakan bahasa Inggris. Diam saja, atau hanya bermain-main, sudah pasti dinyatakan tidak lulus. Tahun ini misalnya, dari 196 siswa yang diuji ke Borubudur, tujuh di antaranya pulang kampung tanpa membawa sertifikat tanda kelulusan.
Agar pengawasan dalam ujian di Borubudur berlangsung maksimal, Kalend tidak pernah membawa siswa dalam jumlah besar. Kendaraan yang dipakai hanya L-300 untuk mengangkut 18 siswa. "Kami tidak rekreasi ke Borubudur tetapi ujian makanya siswa yang diuji hanya sedikit," ujar Kalend.
Banyaknya siswa yang berhasil menimba ilmu dari Kalend ini dimanfaatkan sebagian mantan siswanya untuk membuka lapangan pekerjaan di sekitar BEC. Lembaga kursusan Bahasa Inggris mulai menjamur. Hingga jumlahnya mencapai ratusan.
Meski demikian, lelaki yang baru saja menunaikan umrah ini mengaku tak pernah merasa tersaingi. Walau lapangan pekerjaan yang dibuka mantan muridnya itu sama dengannya tetapi Kalend menganggap hal itu adalah hal yang biasa.
Justru, yang menjadi keluhan Kalend saat ini adalah sepinya turis mancanegara yang berkunjung ke tempatnya. Diduga jarangnya turis ke BEC karena terimbas adanya bom Bali pertama beberapa tahun lalu. Akibatnya, jika siswa-siswi bisa praktik cas-cis-cus dengan native speaker dengan gratis sekarang kesempatan itu menjadi sangat langka. "Sekarang ini empat bulan belum tentu ada turis yang ke sini. Padahal dulu itu setiap bulan ada," ujarnya.
Meski mengaku butuh adanya native speaker untuk memotivasi anak didiknya mempraktikkan bahasa Inggris tetapi Kalend gigih tak mau memakai jasa native speaker. "Kalau pakai native speaker itu butuh biaya besar," ujarnya.
Selasa, 01 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar